'Mantra' dan 'Mimpi' Sukses Realisasi Proyek Laptop $100.
Jum'at, 22-12-2006
Inilah mantra kunci sukses guna meraih cita-cita setinggi langit: "Mengawalinya dengan mimpi untuk sukses dan setelah terbangun dari mimpi segera berkarya bekerja keras untuk mewujudkan mimpi tersebut". Demikian ungkapan penyanyi asal Indonesia pelantun lagu "Mimpi" dan "Mantra" ketika menerima penghargaan AMI Award 2006 kategori "The Best International Artist" di negeri sendiri setelah beberapa tahun sukses "Go International" malang-melintang berpentas di Eropa ---khususnya Negeri Perancis--- dan Asia-Pasifik : Anggun. Mimpi demikian sungguh pula dialami oleh Guru IT & sains komputer asal Universitas MIT : Nicholas Negroponte dalam melahirkan gagasan proyek OLPC One Laptop per Children, untuk membuat komputer jinjing / "laptop" seharga $100 bagi kanak-kanak usia sekolah di negeri dunia ketiga sebagai perangkat edukasi/pendidikan serta sekaligus guna menjembatani digital divide dengan tersedianya fasilitas koneksi Internet. Gagasan yang dipandang sebelah mata oleh sejumlah kalangan ahli dunia IT. Betapa tidak : "Mimpi kali yee..." ? Soalnya ketika gagasannya dicetuskan hampir 3 tahun yang silam harga komponen layar display laptop adalah AS $ 100 sedangkan harga laptop bermerk dengan prosesor kelas low-end setidaknya sekitar AS $ 800. Laptop $100 kini memasuki masa tahapan kritis dengan telah hadirnya produk versi uji coba ("B1 proto-type") sejak mid-November dan akan segera dilanjutkan dengan proses produksi tahap pertama "laptop sejuta ummat" mid 2007. OLPC menggariskan tahap awal produksi baru akan dilaksanak dengan order minimal sejumlah 5 juta unit, sedangkan harga produksi realitas sekarang adalah $ 150 per unit tengah siap dilaksanakan oleh pabrikan komputer Quanta asal Taiwan.
Berbagai kalangan pengamat IT maupun pakar pendidikan yang memiliki perspektip sama sesuai dengan visi Negroponte, walaupun dengan terbersit rasa sedikit skeptis menyadari, bahwa jika akhirnya gagasan $100 karya Negroponte ternyata berhasil dalam penerapan tentunya merupakan kecemerlangan sang pakar komputer asal MIT dalam merealisasikan visi teknologi yang berazaskan asa philantropis. Hal yang bisa jadi suatu perulangan sukses ramalan tentang perkembangan kemajuan dunia teknologi IT dalam buku "Being Digital" tulisan Negroponte (1995). Hingga pantas pula jika ada sejumlah pengamat siap mensejajarkan Negroponte dengan Andrew Carnegie ---usahawan sukses yang berpandangan philatropis di akhir abad 19--- yang diakui bervisi jauh kedepan dan sukses menghadirkan ribuan Perpustakaan umum di berbagai pelosok kota-kota AS yang dimaksudkan sebagai gerbang wahana akses terhadap ilmu pengetahuan bagi segala kalangan, khususnya kanak-kanak usia sekolah.
Bahkan bagi banyak kalangan pengamat andaikata pun yang terjadi adalah suatu kegagalan, maka upaya Negroponte tetap dapat dianggap sebagai upaya penting yang pantas dihargai dalam kaidah "phylantrophy" masa kini guna memacu percepatan pendidikan di negara Dunia Ketiga.
Produk proto-type layar laptop OLPC $ 100 berukuran 7,5 inch dan dibuat dengan ongkos produksi saat ini senilai AS $ 40 dan memiliki keunggulan inovatif, yakni; konsumsi daya irit listrik sampai dengan 80% dan amat terang hingga dapat jelas tampil jika dibuka pada ruang terbuka : out-door. Opsi penyalaan layar dapat dipilih antara tampilan berwarna atau hitam-putih : b&w.
Konsumsi daya laptop pada operasi minimal hanyalah 2 watt, nilai yang amat jauh dibanding 25 - 40 watt pada laptop konvensional saat ini. Hal yang dimungkinkan selain atas inovasi teknologi pada layar display, juga disumbang oleh kerja sistem prosesor AMD yang bekerja efisien ---yakni hanya beroperasi maksimal sesuai kebutuhan aplikasi yang tengah dijalankan--- serta dihilangkannya komponen mesin hard-disk digantikan dengan jenis flash-memory.
Seseorang figur terkemuka yang memiliki "mimpi bervisi jauh kedepan" seperti halnya Negroponte tentu tidak akan ragu berseberangan dengan tentangan para penantang semisal Bill Gates ---pendiri Microsoft sekaligus seorang tokoh pilihan majalah Time tahun 2005 untuk asa philantrophi pemberantasan penyakit menular di Dunia Ketiga--- yang acapkali mengkritik proyek OLPC, khususnya perihal penggunaan Sistem Operasi Open Sources yang dipilih pada laptop $100 maupun tentangannya yang menyatakan perangkat telepon seluler adalah pilihan yang lebih pas, baik dalam segi kemudahan akses Internet maupun pendayagunaan infra-struktur telekomunikasi di negara Dunia Ketiga yang umumnya memiliki konektivitas akses komunikasi yang relatif terbatas. Negroponte dkk punya jawaban pas atas kritik termaksud, dengan mengungkapkan bahwa tidaklah mungkin kalangan anak usia sekola belajar dari buku : e-book sekalipun, dengan display seukuran layar perangkat ponsel. Ibarat membuka buku pada selembar meterai ?
Lebih jauh menurut Negroponte banyak kalangan yang acap keliru dalam mengkritisinya ---andaikata proyek OLPC diibaratkan pelayaran Columbus maka banyak pihak yang lebih mengulas secara berlebihan atas kapal sang Columbus, dan bukannya melihat pada arah tujuan pelayaran--- yakni : Edukasi. Inisiatif OLPC hingga saat ini setidaknya telah menarik 5 (lima) negara Dunia Ketiga yang memiliki komitmen tinggi atas kemajuan pendidikan dasar selaras dengan gagasan Negroponte, yakni: Argentina, Brasilia, Lybia, Nigeria, dan Thailand.
Lebih menggembirakan lagi mid Nov 2006 yl terungkap bahwa Inter-American Develoment Bank serta World Bank menyatakan kesediaan guna menyiapkan kredit untuk mendanai pengadaan laptop AS $ 100 bagi negara DUnia Ketiga, khususnya untuk kawasan Amerika Latin. Beberapa Negara Industri maju di Eropa pun menyatakan bersedia memberikan bantuan pendanaan pembelian laptop $ 100 bagi sejumlah negara berkembang di benua Afrika. Sambutan positip pun telah didapatkan pada ekspose proyek OLPC $ 100 dihadapan Sekjen PBB pada World Economic Forum Jan 2005 yl.
Kritisi yang menyinggung bahwa bukan pada tempatnya memberikan perangkat canggih serupa laptop bagi kalangan kanak-kanak usia sekolah di Negara Berkembang yang dipandang semestinya lebih membutuhkan ketersediaan fasilitas air bersih, masalah kekurangan makanan bergizi, atau pun minim sarana kesehatan; menurut Negroponte adalah termasuk kritik yang tidak pada tempatnya. Berhubung semiskin apapun suatu negeri Dunia Ketiga, ternyata lazimnya negera berkembang termaksud selalu bersedia menganggarkan sejumlah dana dengan porsi cukup memadai. Kisaran besaran rata-rata antara $ 100 hingga $ 200 per tahun anggaran.
Agar diketahui Negroponte ketika mengawali gagasan proyek OLPC terlebih dahulu sempat melakukan riset penggunaan laptop sebagi perangkat edukasi yang digunakan di sejumlah dusun terpencil yang memiliki keterbatasan akses konektivitas komunikasi on-line di Negara Kamboja. Hasil yang diperoleh dalam sisi edukasi formal dan informal ternyata amat menakjubkan dalam pemikiran Negroponte. Terjadinya semacam transformasi kemajuan dalam dunia pendidikan kanak usia sekolah maupun pengetahuan khalayak penduduk pedusunan umumnya.
Indonesia pun memiliki contoh bagaimana media Internet on-line berperan penting dalam memunculkan sosok pelajar ---George Saa dan Annike Bowaire masih sebagai pelajar SMA dari kota Serui yang letaknya relatif jauh terpencil di Papua 3 tahun silam--- untuk mampu berkompetisi dan memenangkan ajang lomba Fisika Internasional : "The First Step to the Nobel Prize". Keduanya adalah pelajar berotak cemerlang diatas rata-rata yang selain rajin belajar sekolah ternyata mahir mencari ilmu pengetahuan lewat media Internet hingga lebih 'mengasah mengkilap' kecemerlangan prestasi daya pikir akademis. Dengan jalan berkomunikasi e-mail dengan seketika dapat kontak dengan profesor ternama ahli Ilmu Fisika manapun di seluruh muka bumi dengan mudah cukup lewat beberapa langkah klik dihadapan komputer. Maraknya media Internet yang melahirkan riset "Six-Degrees of Separation" (2002) hasil karya Dr. Robby Muhamad asal Indonesia yang mengetengahkan dalam dunia komunikasi cyber on-line saat ini cukup lewat maksimal 6 (enam) simpul individu maka suatu kontak pesan atau e-mail kiriman seseorang untuk dapat sampai pada orang yang menjadi kontak tujuan. Sumber: MIT TechReview dan ragam info web / Rizal AK.
The Light House : menara suar icon kota Paris 2020 ?
Jum'at, 15-12-2006
Paris adalah ibu kota turisme kawasan Eropa yang menjadi salah satu tujuan wisatawan sedunia untuk berkunjung ke icon yang paling terkenal; Menara Eiffel. Kota Paris serta masyarakat Parisiene adalah warga kota yang sejak lama terkenal sebagai kaum avant-garde yang tidak jeri untuk melakukan upaya terobosan melangkah jauh didepan zaman, termasuk ketika membangun Menara Eiffel ( Gustave Eiffel - 1889 ), Glass Pyramide de Louvre Musee ( IM Pei arsitek warga negara AS - 1989 ), atau pun Pompidou Center ( kolaborasi arsitek Renzo Piano dan Richard Rogers - 1976 ). Dan kini skyline kota Paris akan mengalami perubahan mencolok dengan akan dibangunnya gedung pencakar langit setinggi 300 meter (990 feet) yang diberi nama proyek The LightHouse ( Phare : in French ) yang akan selesai dibangun tahun 2012 karya arsitek Amerika pemenang penghargaan the Pritzker Prize tahun 2005: Thom Mayne.
Setelah sekian lama : 30 tahun peraturan melarang gedung tinggi dibangun di wilayah pusat kota Paris dengan acuan Menara Eifel ---tinggi 324m--- maka menurut Rancangan Tata Kota Paris 2020 akan mengalami penataan ulang hingga munculnya rencana pembangunan gedung pencakar langit sebagai bagian dari revitalisasi wilayah La Defense. Sayembara Internasional untuk rancangan arsitektur termaksud kemudian dimenangkan oleh arsitek Thom Mayne dari kantor arsitek kenamaan Morphosis, Los Angeles - AS.
Sama halnya rancangan Menara Eifel ataupun Piramida Gelas Museum Louvre yang ketika dirancang sempat memancing kontroversi pro-kontra, demikian pula dengan gedung pencakar langit The LightHouse mengingat sosok outline bangunan dengan tampilan yang aneh dipandang hanya akan 'merusak' skyline sediakala kota Paris yang anggun. Ekspresi tampak luar gedung yang menonjolkan suatu bentuk cerobong yang menyatu dengan pojokan kotak menara benar-benar sungguh tampak jelek dipandang menurut sudut mata estetika bagi sebagian orang. Namun tidak demikian halnya bagi kaum Parisiene yang malah memilihnya sebagai karya no.1 diatas karya monumental Norman Foster asal Inggris atau pun arsitek terkemuka asal Perancis sendiri Jean Nouvel.
Para juri sayembara berpandangan gedung The LightHouse karya Thom Wayne mampu menampilkan cirian ekspresif arsitektur berspirit "ecobuilding" masa depan; bangunan ramah lingkungan yang mengedepankan tata penggunaan energi terbarukan dengan seksama. Bentuk serupa cerobong vertikal yang berujung pada sejumlah rangka menara di level puncak teratas bangunan berfungsi sebagai wahana turbin pembangkit listrik yang bersumber dari tenaga angin. Rancangan panel berlapis ganda pada facade bangunan pun dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang terjadi akibat adanya pergerakan udara. Selain dari pada efek "double-skin facade" demikian pun memungkinkan bukaan jendela pada sisi tertentu bangunan untuk ventilasi silang alami pada saat tiba musim panas.
Rancangan penempatan menara kincir angin dengan turbin pembangkit energi listrik pada lantai puncak gedung LightHouse adalah serupa seperti halnya rancangan pada menara pencakar langit Freedom Tower NYC , AS ( setinggi 1.776 feet ) ---yang akan menggantikan gedung menara kembar WTC New York--- yakni dimaksudkan guna menghasilkan paparan maksimal turbin terhadap pergerakan angin serta sebaliknya, yakni meminimalkan terjadi turbulensi akibat pengaruh pusaran angin dari struktur bangunan disekitarnya serta menjauhkan potensi kebisingan suara.
Sejauh ini bangunan tinggi model "ecobuilding" dengan pendekatan rancangan bertumpu pada efisiensi energi mampu menghasilkan 10% - 20% kebutuhan pasokan energi listrik dicukupi dari "renewable energy" energi terbarukan yang berasal dari tenaga angin. Sementara diseluruh muka bumi energi listrik yang dihasilkan dengan teknologi kincir angin hanyalah 1% dari total konsumsi global energi listrik. Data tahun 2005 diseluruh benua Eropa energi angin membangkitkan tenaga listrik sejumlah 35.000 MW. Para pecinta lingkungan hidup di negeri industri maju di Eropa mengunggulkan angin sebagai alternatif sumber energi masa depan yang bebas polusi dan bersifat terbarukan, dan kenyataannya prosentase penggunaannya tahun demi tahun belakangan meningkat dengan pesat. Sumber: Ragam info web. / Rizal AK.